Hagia Sophia dan Mesjid Biru, Mimpi Lama Yang Menjadi Nyata


Saat itu, masih dalam suasana liburan Bayram (Hari Raya Idul Adha). Di Turki, liburan Idul Adha bisa sampai satu minggu. Tiga hari yang lalu, aku sudah menerima sms pemberitahuan dari kampus mengenai jadwal pendaftaran mata kuliah untuk semester musim gugur yang akan dibuka esok hari. Thanks to technology, sekarang aku tidak perlu bersusah – susah pergi ke kampus untuk mendaftarkan mata kuliah yang akan di ambil. Cukup dengan sambungan internet, log in ke website kampus, dan semuanya bisa dilakukan secara online.

Hari terakhir liburan ini bersamaan dengan hari Mastona meninggalkan Turki. Aku agak sedih, karena kami baru saja berkenalan dan saling cocok satu sama lain. Aku menawarkan diri untuk menemani Mastona sambil membantu membawakan barang bawaannya ke stasiun Metro, namun Mastona kelihatan segan untuk merepotkanku. Kupastikan bahwa aku tidak repot, karena aku juga berencana untuk pergi ke kawasan Sultanahmet yang kebetulan bersamaan arah, untuk menikmati hari – hari terakhir sebelum masuk kuliah. Di stasiun Vesneciler, aku dan Mastona saling berpamitan, dan aku keluar meninggalkan stasiun.

Tujuanku adalah kawasan Sultanahmet. Meskipun sudah berulang kali mengunjungi kawasan ini, aku masih belum bosan. Selalu ada hal baru yang bisa kusaksikan di sana. Ataau menemukan salah satu sudut yang cukup cantik untuk dijadikan spot foto. Tujuanku adalah Hagia Sophia.

Kawasan Sultanahmet

Hagia Sophia lah yang membawaku ke negeri cantik ini. Alkisah, bertahun – tahun yang lampau, kala aku masih menjadi mahasiswa arsitektur, salah seorang dosenku bercerita tentang keindahan Hagia Sophia. Pak Dosen tampak sangat terkesima dengan bangunan bersejarah ini karena Beliau menampilkannya berulang kali dalam beberapa sesi kelas yang berbeda. Aku yang begitu terkesima, bertekad untuk mengunjungi bangunan ini suatu saat nanti. Mimpi tersebut sudah kuwujudkan empat tahun yang lalu, ketika aku mengunjungi Turki untuk pertama kalinya.

Hagia Sophia atau Aya Sophia adalah sebuah gereja yang diperuntukkan untuk umat Kristen Orthodox di  Konstantinopel di masa kekuasaan Kaisar Konstantin. Namun, sang Kaisar kalah perang di tahun 1453. Kota berhasil direbut oleh Sultan kerajaan Ottoman, Fatih Sultan Mehmet. Dan Konstantinopel dirubah namanya menjadi Istanbul. Mehmet the Conqueror, begitu mereka menyebut sang Sultan, tetap membebaskan umat Kristen di Istanbul untuk tetap menjalankan kepercayaannya. Begitupun, sang Sultan mengambil alih Hagia Sophia dan mengganti fungsinya sebagai mesjid. Ornamen – ornamen yang menunjukkan simbol – simbol Kristen ditutup, namun tidak dihilangkan.

Ketika Kerajaan Ottoman runtuh setelah kalah perang di Perang Dunia I, Istanbul pun menjadi bagian dari sebuah negara baru, Republik Turki. Presiden pertama Turki, Mustafa Kemal Ataturk, merubah fungsi Hagia Sophia menjadi museum. Dan lambang – lambang keagamaan Islam dan Kristen dibiarkan tetap berdampingan.

Untuk masuk ke Hagia Sophia, pengunjung perlu membayar tiket masuk seharga 40 TL. Namun, aku tidak perlu membayar apa – apa karena aku sudah mendapatkan kartu museum khusus untuk pelajar dan mahasiswa. Dengan membayar 20 TL saja, aku bisa mendapatkan akses ke banyak museum di Istanbul. Itulah salah satu keuntungan menjadi mahasiswa di Turki.

Hagia Sophia
Ruangan di dalam Hagia Sophia
Ruangan di dalam Hagia Sophia
Tulisan Muhammad di dalam Hagia Sophia
Tulisan Allah di dalam Hagia Sophia
Lambang Kekristenan yang masih ada di Hagia Sophia

Tak jauh dari Hagia Sophia, terdapat mausoleum (makam) para Sultan Ottoman, seperti  Sultan Selim II dan istrinya Nurbanu Sultan, Sultan Murat III, Sultan Mehmet III, Sultan Mustafa I, dan Sultan Ibrahim. Untuk masuk ke kawasan ini tidak perlu membayar tiket masuk.

Makam para Sultan
Makam para Sultan

Tepat di depan Hagia Sophia, berdiri sebuah mesjid megah dengan enam minaret. Mesjid ini dikenal sebagai Mesjid Sultanahmet, atau Blue Mosque. Jika dilihat dari luar, tidak ada satupun dinding yang berlapiskan warna biru. Namun, begitu memasuki mesjid, kita disuguhkan pemandangan mozaik mozaik berwarna biru yang menghiasi dinding masjid. Mesjid ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Ahmet I. Konon, masjid ini dibangun untuk mengimbangi tetangganya, Hagia Sophia. Untuk masuk ke dalam mesjid, tidak dipungut biaya. Namun, pengunjung diharapkan untuk berpakaian sopan. Kain penutup kaki dan kerudung tersedia di pintu masuk. Jika ingin mengunjungi mesjid ini, sebaiknya datang pada jam – jam sebelum azan sholat. Karena, mesjid akan ditutup untuk pengunjung (kecuali yang mau beribadah di dalam mesjid) pada saat 15 menit sebelum azan berkumandang.

Mesjid Sultanahmet atau dikenal juga sebagai Mesjid Biru
Mesjid Sultanahmet atau dikenal juga sebagai Mesjid Biru
Ruangan di dalam Mesjid Biru, menampilkan mozaik – mozaik berwarna biru yang menutupi dinding masjid.

Tepat di sebelah Mesjid Biru, terletak Hippodrome Square, atau saat ini dikenal sebagai  Sultanahmet Square atau Sultanahmet Meydani. Pada masa kejayaan Kaisar Konstantin, tempat ini dikenal sebagai ruang hiburan publik, sebagai tempat diselenggarakannya balap kuda / kereta, pertarungan gladiator, dan sebagainya. Ketika Konstantinopel jatuh ke tangan Ottoman, ruang publik ini masih berfungsi sama. Ada tiga monument menarik yang bisa dilihat disana, yakni dua obelisk dan sebuah air mancur Jerman.

Salah satu obelisk di Hippodrome.
Air manicure Jerman. Air mancur ini dibangun untuk memperingati kunjungan Kaisar Jerman, Wilhelm II ke Istanbul di tahun 1898.

Istanbul yang kaya akan sejarah, membuatnya selalu muncul di buku – buku maupun film. Inferno, film kreasi Hollywood yang diambil dari buku sang penulis terminal Dan Brown, menggunakan Basilica Cistern sebagai salah satu lokasi syutingnya. Hanya dalam jarak berjalan kaki saja dari Hagia Sophia, Tom Hanks menunjukkan aksi bela diri di dalam Basilica. Untuk masuk ke sini, aku tidak bisa menggunakan kartu museum. Namun, dengan kartu mahasiswaku, aku hanya membayar 5 TL saja.

Basilica Cistern adalah waduk yang digunakan pada zaman Byzantium, untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat Byzantium pada masa itu. Waduk tersebut dibangun pada masa kekuasaan Kaisar Justinian I. Waduk yang dibangun di bawah tanah ini, disangga oleh tiang – tiang dengan pola yang teratur. Meskipun waduk ini sudah tidak digunakan lagi, namun air – air masih dibiarkan tergenang, dengan ikan – ikan yang berenang dengan bebasnya. Ada perasaan angker ketika memasuki bangunan ini. Mungkin karena pencahayaan yang kurang, atau juga karena refleksi temaram lampu yang terpancar di permukaan air. Atau juga karena kepala medusa yang tarletak di ujung waduk, yang digunakan sebagai pondasi salah satu tiang. Intinya, aku tak mau berlama – lama di sini.

Basilica Cistern
Basilica Cistern
Basilica Cistern
Kepala Medusa di Basilica Cistern

Hari sudah mulai senja ketika aku meninggalkan Basilica Cistern. Badan rasanya sangat lelah, dan ingin sekali untuk bisa langsung beristirahat. Namun, perut ini tak bisa diajak berkompromi. Aku baru ingat kalau aku belum makan siang sama sekali. Karena itu, sebelum pulang, aku menyempatkan diri singgah di salah satu restoran Turki di Sultanahmet untuk memesan sepiring Beyti Donner.

Advertisement

8 comments

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s