Istanbul tak hanya Sultanahmet dan Taksim. Fener-Balat adalah satu kawasan yang tak bisa dilewatkan ketika berjalan-jalan di Istanbul. Terletak di tepi tanduk emas, Fener-Balat telah menjadi permukiman penganut agama Yunani Orthodox dan Yahudi selama beratus tahun. Ketika Istanbul direbut oleh kesultanan Ottoman di tahun 1453, kawasan Fener menjadi kawasan permukiman bagi masyarakat Yunani yang memiliki peranan penting di kesultanan. Phanariots, begitu mereka disebut, telah menjadi penasihat kerajaan, bahkan menjabat sebagai gubernur di beberapa propinsi bagian barat kesultanan Ottoman. Sementara Balat, telah menjadi permukiman masyarakat Yahudi yang datang berimigrasi dari Spanyol. Ketika kerjaan Granada jatuh, kerajaan Spanyol mengumumkan bahwa mereka tidak menginginkan masyarakat Muslim dan Yahudi tinggal di sana. Sementara, kesultanan Ottoman membuka pintu untuk masyarakat Yahudi dengan tangan terbuka. Sultan Bayezid II bahkan mengirimkan kapal untuk membawa mereka ke Istanbul. Mereka pun bermukim di Balat sejak tiba di Istanbul.
Memang, jika mengunjungi Istanbul untuk pertama kalinya, akan sangat mudah untuk melupakan Fener-Balat karena dikalahkan oleh kawasan wisata mainstream di Sultan Ahmet, seperti Hagia Sophia dan Mesjid Biru. Namun, lain halnya ketika telah menjadi warga Istanbul. Berjalan-jalan di Sultanahmet terasa begitu turistik. Dan aku mencari sesuatu dengan sentuhan yang lebih ‘lokal’.
“You should visit Fener-Balat, Nurul,” Hille told me. “Come in the afternoon, when the sun is not too hot. Fener-Balat neighborhood is unique and authentic. You will love it. I am thinking to move there.”
Di Minggu sore, sepulang dari perpustakaan, aku menyempatkan diri untuk mengunjungi kawasan ini. Meskipun udara dingin, namun matahari cukup cerah. Fener-Balat tak jauh letaknya dari kampus Bilgi. Hanya sekitar 15 menit saja dengan naik bis yang langsung membawaku ke sana. Arahnya pun searah dengan tempat tinggalku. Aku turun di Balat dan memasuki jalan kecil yang menuju ke permukiman. Benar yang dikatakan Hille. Lingkungan ini sangat authentic. Sangat berbeda dengan Sultanahmet dengan penonjolan budaya Ottoman ataupun kawasan Taksim yang bergaya barat. Rumah-rumah yang berwarna-warni di Balat serta bangunan yang megah di Fener membuat kawasan ini sebegai tempat yang sangat menyenangkan untuk berjalan-jalan. Jika kamu pecinta arsitektur, budaya maupun sejarah, Fener-Balat memberikan apa yang kamu inginkan. Fener-Balat benar-benar suatu perpaduan.





Aku berhenti di halte bus Balat. Begitu memasuki jalan untuk memasuki kawsan, aku disambut dengan berbagai rumah yang beraneka warna. Banyak bangunan yang dibangun ratusan tahun yang lalu, namun masih berdiri dan ditempati. Bentuk dan rupanya pun tak jauh berubah. Menurut informasi yang aku dapatkan, pemerintah Turki memberikan peraturan khusus di kawasan ini. Jika ada yang ingin melakukan renovasi terhadap bangunan, tidak boleh merubah bentuk asli dari bangunan tersebut. Pantesan, bentuk-bentuk rumah dan bangunan di kawasan ini mirip-mirip. Aku berjalan terus melalui rumah-rumah yang berwarna warni. Jalanan terus menanjak, menurun, dan menanjak lagi. Jika ingin datang ke sini, pakailah sepatu yang nyaman. Akan sangat menyulitkan jika datang dengan sepatu yang berhak tinggi melewati jalanan berbatu yang curam dan licin. Aku melewati sebuah breakfast house. Breakfast house ini disebut dengan rumah hobbit, karena perlatan dan perabotannya mirip dengan kepunyaan Bilbo Baggins di film the Lord of the Rings. Aku mengambil beberapa foto. Satu kelompok remaja Turki juga ada di sana. Dan mereka mengajakku untuk berfoto bersama. Oh, aku merasa seperti selebriti.


Aku terus berjalan, melewati toko-toko, rumah-rumah tua, rumah lelang, kedai es krim, tea house, coffe house dan masih banyak lagi. Kafe-kafenya cantik dan unik bentuknya. Hampir semua kafe memiliki kucing. Orang-orang di Turki banyak yang pecinta kucing. Dan kucing-kucing itu duduk manis di atas meja. Mereka seakan berkata, “Hey. I am the boss here”




Sungguh nyaman dan cozy berada di sana. Menikmati segelas atau dua gelas Turkish tea sambil membaca buku yang diiringi musik dengan lantunan lembut. Ingin rasanya berlama-lama di sana. Sampai di satu sisi, aku berbelok ke kanan. Di kiri kananku terdapat lukisan mural di beberapa tembok tinggi. Terus mendaki, aku tiba di sebuah bangunan besar berwarna merah. Ternyata bangunan ini adalah sekolah akademi Yunani Orthodox, yang lebih dikenal dengan sebutan The Greek Orthodox College. Bangunan ini dirancang oleh Konstantinos Dimadis, seorang arsitek Yunani-Ottoman, pada tahun 1881 hingga 1883. Bangunan ini terkenal dengan arsitekturnya yang bergaya campuran dan salah satu bangunan termahal di masa itu.





Meskipun Turki dikenal sebagai negara dimana Islam adalah agama mayoritas (Turki bukan negara Islam karena tidak menganut sistem syariah), Fener-Balat menunjukkan jika masyarakat yang beragama lain dibebaskan untuk menjalankan ibadah mereka masing-masing. Di kawasan ini, aku bisa melihat mesjid, gereja dan sinagoga berdiri berdekatan. Di kawasan ini pula aku bisa melihat bahwa masyarakat yang memiliki ajaran kepercayaan bisa hidup berdampingan dengan harmonis satu sama lain. Setahun setelah kunjunganku, Hille pindah ke kawasan ini. Dia menceritakan bagaimana tetangga-tetangganya yang beragama Islam memberikan makanan padanya di hari Natal atau mengundangnya untuk sarapan bersama, karena mereka tak mau Hille merasa kesepian di hari besar agama yang dianutnya.



Kawasan ini sangat lokal, karena sebagian besar penghuni kawasan adalah warga Turki. Namun, anehnya, banyak warga Turki yang tinggal di bagian lain Istanbul belum mengunjungi kawasan ini. Sarah yang sudah bermukim beberapa tahun di Istanbul pun baru mengunjungi kawasan ini beberapa minggu sebelumya. Tak tahu apa penyebabnya. Mungkin, karena media sering luput untuk menceritakan kisah dari tempat ini. Namun, bagiku Fener-Balat mesti dikunjungi jika sedang berada di istanbul. Beberapa teman yang mengunjungiku saat bermukim di Istanbul, selalu kubawa ke tempat ini. Agar mereka tahu kalau Istanbul bukan hanya Sultanahmet dan Taksim saja. Sebenarnya masih banyak bangunan yang bisa diintip di kawasan ini. Namun, jika ingin melakukan itu semua, sehari penuh berjalan pun tak akan cukup. Untuk hari ini, cukup sekian yang kulihat.
Sebelum pulang, aku ingin duduk di salah satu kafe lagi. Kafe yang satu ini letaknya di depan jalan utama. Dari sini, aku bisa melihat pemandangan sungai di tanduk emas. Aku memesan segelas kopi Kurdi. Rasanya mirip dengan kopi Turki, namun rasanya lebih creamy karena menggunakan susu. Pemilik warung kopi ini adalah sepasang suami istri yang sudah tua. Sang istri berasal dari Albania, sementara suaminya seorang Turki yang kampung halamannya berbatasan dengan Bulgaria. Mereka berdua ramah dan hangat sekali. Menemaniku minum kopi, sang istri bercerita tetnang sejarah kedatangan bangsa Albania ke Turki di masa pemerintahan Ottoman. Sementara sang suami menghidangkan boreg (sejenis kue, seperti kue dadar yang berlapis-lapis) khas Albania. Sungguh cara yang indah untuk mengakhiri minggu di awal musim dingin ini.
Wonderful place. I wanted to walk up to the Valens aqueduct and back through this area, but it was a bit too much for me. Thanks for showing these photos.
LikeLiked by 1 person
You are welcome. And thanks for your kind visit and comment.
LikeLike
Suka banget kak…. wow.. penuh warna yang cantik, bentuk-bentuk arsitektur yang amat indah…. iiiih.. beneran pengen ngeliat langsung…
LikeLiked by 1 person
Semoga suatu saat bisa sampai ke sana ya Riyanti 🙂
LikeLike
Aamiin YRA… one day… one day…
LikeLiked by 1 person
A lovely series of photos 🙂
LikeLiked by 1 person
Thank you very much..
LikeLiked by 1 person
[…] had written about Balat here and here (in Indonesian). I had explained why I fell in love with the neighborhood with its full-color house and melting […]
LikeLike
[…] The photo shows the narrow street in Balat neighborhood. […]
LikeLike