
Dari seluruh mata kuliah yang kuambil, mata kuliah Theory of International Relations (IR) adalah yang paling kutakuti. Di minggu kedua semenjak jadwal perkuliahan dimulai, akhirnya Professor M.O hadir. Hal pertama yang dilakukannya ketika masuk ke dalam kelas adalah berkomentar kalau kelas kami terlalu ramai. Selanjutnya dia bertanya berapa orang mahasiswa yang tidak pernah mengikuti mata kuliah international relations atau political science di jenjang pendidikan sebelumnya. Aku mengangkat tangan diikuti dengan sebagian kecil isi kelas. Kelas kami sebahagian besar orang diisi oleh pengamat politik internasional, calon akademisi, dan diplomat masa depan. Jadi, tak heran jika sebagian besar orang paham dengan politik. Agak mengherankan, Sera juga mengangkat tangannya. Ketika melihatku, Professor M.O langsung bertanya,
“Apa jurusan S1 mu?” Tanyanya.
“Arsitektur, Professor,” jawabku malu – malu, diikuti dengan pandangan takjub dari sang professor dan senyum tertahan dari teman-teman sekelas.
“Oh…. Menarik sekali,” kata professor M.O sambil megangguk-angguk. Tak bisa kubaca apa yang ada di dalam pikiran sang professor. “Dan kamu, apa jurusanmu sebelumnya?” Beliau menunjuk Sera.
“Aku seorang pengacara, Professor. Dan aku ingin bekerja di United Nations. Makanya aku mau belajar hubungan antar bangsa,” jawab Sera dengan penuh percaya diri. Ini hal yang paling kusuka dari Sera. Dia tahu apa yang diinginkannya.
“Wah. Kelas ini menarik sekali,” kata Professor M.O. Lagi – lagi tak bisa kuinterpretasikan apa arti kata ‘menarik’ ini.
“Kenapa kau tak bilang kau dulu bekerja di UN,” bisik Sera.
“Ah. Aku tak mau sesumbar,” bisikku. “Lagipula, jika mereka bertanya tentang mandat dan sejenisnya, aku tak akan mengerti. Kau tau, aku dulu facilities manager. Bukan ahli politik”
Professor tampaknya cukup pening melihat kenyataan jumlah mahasiswa ‘tersasar’ di kelasnya, yang kuperkirakan jarang terjadi di masa sebelumnya. Karena setelah bertanya pada Sera, dia tidak bertanya pada mahasiswa yang lain. Beliau langsung menguraikan tentang apa yang akan kami pelajari di semester ini. Dan, Beliau juga menekankan bahwa kelas ini akan berupa kelas debat, dan nilai akhir akan sangat dipengaruhi oleh keaktifan berdebat. Ini membuatku cukup stress, karena aku tak biasa berdebat ketika masih berkuliah di jurusan arsitektur yang sudah selesai berabad – abad yang lalu. Dan yang paling membuatku takut, Professor M.O juga sedikit mengkhawatirkan jika mahasiswa yang tidak memiliki latar belakang political science akan sedikit kewalahan mengikuti perkuliahan. Namun, beliau juga memberikan izin kepada kami yang ‘tersesat’ untuk mengikuti kuliah Theory of IR yang diperuntukkan bagi mahasiswa S1. Sayang, kuliah tersebut bersamaan dengan jam kuliah Enerji.
“Kau tak perlu drop kuliah Enerji,” kata Nasir menenangkan. “Jangan terlalu khawatir dengan apa yang dikatakan Professor M.O. Kau hanya perlu membaca materi yang diberikannya. Jika ada hal yang tak kau mengerti, kau bisa berdiskusi dengan professor. Atau kau bisa tanya aku sebelum bertemu professor untuk membahas lebih lanjut,” Namun, penjelasan Nasir tak mampu mengurangi kecemasanku.
Theory of IR adalah dasar dari jurusan ini. Aku harus lulus. Tidak ada excuse. Jika tak lulus, berarti tak bisa menyelesaikan program master ini. Semakin aku berfikir, semakin aku tak tenang.
“Yang pertama kita lakukan adalah membahas dasar theory realism di International Relations,” jelas Professor M.O. “Well, instead of explaining to you from A to Z, I would like to ask you to read about Rousseau and Hobbes. I’ll divide this class into two different groups. One group will focus on Rousseau, and the other one will focus on Hobes. You may choose whatever you’re interested on” katanya. Dan, mulailah kelas terbagi menjadi dua bagian, dan kami berpindah tempat duduk sesuai kelompok.
“So, next week, I would like to hear the discussion between these two groups, about the concept given by these two authors,” jelas Beliau. Setelah memberi penjelasan, Professor M.O memberi kami kebebasan untuk saling bertukar nomor WA untuk masing-masing grup, sehingga diskusi kelompok bisa dilakukan melalui WA.
“Oh. Kau suka Rousseau ya?” tanya Laz ketika aku mendaftarkan diri sebagai pendukung Rousseau.
“Well, sebenarnya, aku tak kenal dua orang ini,” jawabku yakin. “Jadi, apapun kelompokku, tak akan jadi masalah,” kataku. Kulihat Laz juga bergabung di kelompok Rousseau.
Setelah menjelaskan hampir selama 3 jam, akhirnya Professor M.O menutup kelas sambil berkata, “Sampai ketemu di debat minggu depan. Kelas ini menarik sekali, dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Dari ahli politik, jurnalis, pengacara hingga arsitek, semua ada disini. Aku tak sabar melihat debat minggu depan,”
Sejak hari itu, aku tak bisa tidur nyenyak.
[…] mata kuliah Theory of IR, awalnya aku sudah sangat pasrah. Ujian hanya berupa ujian lisan, dimana kami harus mendatangi […]
LikeLike