Finally. Akhirnya aku bisa bernafas lega. Nilai akhir semester musim gugur 2016 telah keluar. Aku sangat puas dengan hasilnya. Tentu saja, aku bukan nomor satu di kelas. Namun, fakta bahwa GPA ku melebihi standar yang kutentukan untuk diriku sendiri, sudah membuatku senang luar biasa.
Untuk mata kuliah Theory of IR, awalnya aku sudah sangat pasrah. Ujian hanya berupa ujian lisan, dimana kami harus mendatangi Professor M.O di kantornya, sesuai dengan jadwal. Ujian ini tak akan banyak memberi pengaruh, karena nilai debat dan keaktifan di kelaslah yang lebih menentukan kelulusan. Aku benar-benar pasrah. Sebelum tahun baru tiba, aku sudah mendatangi Professor M.O untuk melakukan ujian lisan, atau lebih cocok dikatakan dengan wawancara singkat tentang apa yang sudah kami pelajari. Aku sudah pasrah, sepasrah-pasrahnya dengan jawaban-jawaban yang kurasa terdengar konyol, untuk menjawab pertanyaan professor M.O. Di akhir wawancara, Professor M.O mengatakan kalau aku tak perlu merasa terlalu khawatir dengan nilai akhirku. Aku memang sudah pasrah saja. Untuk merasa stress pun, aku sudah tak sanggup. Namun, semua akhirnya berakhir dengan baik.
Aku tak mendapat nilai sempurna untuk mata kuliah Theory of IR. Namun, nilai yang diberikan professor M.O untukku, jauh lebih baik dari harapanku sebelumnya, yang hanya bisa berharap bisa lulus dengan nilai standar saja. Keberhasilan ini tak akan terjadi tanpa bantuan dari teman-teman sekelas yang sudah membantuku sepanjang semester, terutama Nasir yang selalu menjadi tujuan utama ketika aku tengah dilanda kebingungan luar biasa, dan Intissar yang sudah menjadi teman senasib dan sepenanggungan.
Seperti yang kukatakan sebelumnya, setiap keberhasilan pantas untuk dirayakan. Aku langsung menelepon Intissar begitu melihat seluruh nilai. Intissar pun puas dengan nilainya. Bahkan, di mata kuliah Politic of Energy dimana dia mendapat nilai yang terlalu bagus di ujian tengah semester, dengan nilai akhir semester yang tinggi, Intissar bisa mendongkrak nilainya, sehingga nilai akhir semesternya cukup bagus. Kami pun berencana untuk merayakan keberhasilan ini dengan jalan-jalan ke Rumeli Hisari atau Benteng Rumeli.
Aku dan Intissar berjanji bertemu di Besiktas pada pukul 9 pagi. Kami sengaja datang pagi, agar bisa sarapan dulu sebelum menjelajahi benteng. Rumeli Hisari letaknya di kawsan Sariyer, yang bisa ditempuh selama 40 menit perjalanan dari Besiktas. Sepanjang jalan, kami dimanjakan dengan pemandangan selat Bosphorus. Aku belum pernah datang ke lokasi ini sebelumnya. Dengan sekali pandang, aku segera tahu kalau kawasan ini adalah kawasan elite para Istanbulite, dimana banyak tokoh penting dan selebriti bermukim. Aku sempat mengenali seorang aktor Turki ketika tengah berjalan-jalan ke sini di kunjungan berikutnya.
Seperti rencana kami sebelumnya, kami pun masuk ke salah satu restoran tepi laut untuk menikmati sarapan ala Turki. Intissar sudah mencari review dari Tripadvisor, dan restoran ini mendapat bintang 5 dari review pengunjungnya. Hari itu cukup rame. Kami bahkan harus mengantri beberapa saat sebelum mendapatkan kursi. Namun, semua itu terbayar karena akhirnya kami mendapatkan kursi dengan pemandangan langsung ke selat Bosphorus.
Sambil menunggu pesanan tiba, aku mengobservasi pengunjung yang datang. Sebuah mobil sport Jaguar Parkir di bawah restoran, tepat di bawah meja kami. Tak lama setelahnya, mobil Hummer parkir di sebelahnya.
“I think we’re the only ones who came with the bus,” bisikku pada Intissar.
“Don’t worry Nurul. Our bus is probably more expensive than these sport cars” bisik Intissar.
Tak lama, pesanan kami datang. Karena tengah merayakan sesuatu, kami memesan menu sarapan penuh. Isinya bermacam-macam. Berbagai macam roti, pancake, keju, madu, buah zaitun, sayur-sayuran. Tak ketinggalan berbagai macam sosis, menemen (omlet khas Turki), beberapa tusuk daging panggang, mentega dan berbagai jenis selai. Selain jus buah, teh Turki disajikan dengan terus menerus. Menurutku, porsi ini bukan porsi sarapan, namun lebih kepada porsi makan siang. Dan, seperti sudah kami duga. Harganya juga melebihi harga standar. Empat kali lipat dibandingkan dengan harga makan siang di restoran biasa. Namun, kami sudah sepakat kalau hari ini kami tak mau terlalu memikirkan harga. Tak apalah memanjakan diri sekali-sekali. Lagipula, belum tentu setiap bulan kami datang ke tempat seperti ini.

Usai sarapan yang luar biasa, kami menuju benteng yang hanya berjarak beberapa langkah kaki dari restoran. Karena kami punya kartu museum, maka kami tak perlu membayar apa-apa untuk masuk ke dalam benteng yang termasuk di daftar museum yang bisa dikunjungi gratis dengan mengunakan kartu museum.
Terletak di kawasan Arnavutköy, benteng Rumeli adalah salah satu benteng dari dinasti kerajaan Ottoman. Benteng tersebut dibangun oleh salah satu sultan, Sultan Mehmed II, atau lebih dikenal dengan sebutan, Mehmed, Si Penakluk, pada tahun 1352. Benteng ini hanya dibangun dalam waktu beberapa bulan saja, sebagai persiapan untuk merebut kota Konstantinopel dari kerajaan Byzantium. Arsitek yang membangun benteng bernama Müslihiddin. Dan ketika benteng ini dibangun, namanya lebih dikenal sebagai Boğazkesen atau Strait Cutter atau pemutus selat. Benteng ini terletak di tepi selat Bosphorus dan juga bersebrangan dengan benteng lain di sisi Asia, yang dikenal dengan sebutan benteng Anadolu. Kedua benteng ini memang dibangun dengan tujuan untuk mencegah pemberian bantuan militer kepada kerajaan Byzantium, yang datang dari sisi utara Laut Hitam.
Setelah penaklukan Konstantinopel di tahun 1453, benteng Rumeli kehilangan fungsi militernya, dan dijadikan sebagai tempat pemeriksaan bea cukai hingga abad ke 17, dan berubah fungsi menjadi penjara hingga abad ke 19. Di abad ke 19, wilayah sekitarnya dirombak dengan membangun rumah-rumah, mesjid, dan toko-toko. Namun, wilayah ini dihancurkan pada tahun 1950. Sejak tahun 1960, benteng Rumeli berfungsi sebagai museum terbuka yang dibuka untuk umum.
Ketika kami tiba, hanya ada beberapa pengunjung saja. Dan jelas, kami tidak mengantri untuk masuk. Cuaca sempat cerah untuk beberapa saat, hingga akhirnya mendung lagi. Di dalam kompleks benteng, tak banyak yang bisa ditemukan. Banyak ruangan yag ditutup, karena dinyatakan sudah tak terlalu aman untuk masuk ke dalam. Renovasi bangunan sedang direncanakan untuk memperkuat struktur benteng. Sehingga, kami hanya menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di halaman benteng saja. Beberapa bangku taman tersedia, sebagai tempat duduk-duduk.








Benteng ini melingkupi lahan yang bertingkat-tingkat. Untuk melihat tingkat teratas, kami melalui beberapa anak tangga. Hati-hati jika melalui anak tangga ini, karena banyak anak tangga dimana semen penutup lantainya sudah pecah-pecah. Jika tak hati-hati bisa tersandung dan tergelicir ke bawah.
Aku yang memang jarang olah raga, kecapekan juga setelah berhasil mencapai puncak bukit. Meski ngos-ngosan, view yang dilihat dari atas cantik sekali. Disini, aku bisa melihat benteng Anadolu, yang tepat terletak bersebrangan dari sini, hanya dipisahkan oleh selat Bosphorus. Bangku-bangku taman juga tersedia disini. Seandainya saat itu musim panas, tentu asyik sekali duduk-duduk di sana, sambil membawa buku untuk dibaca dan setermos kopi panas.



Sebelum berpisah, aku dan Intissar minum kopi di salah satu kafe, yang tak jauh dari Benteng Rumeli. Disini, kami berpisah dan baru akan ketemu lagi setelah tiga minggu ke depan. Intissar akan menghabiskan seluruh liburan musim dingin di Spanyol bersama ayahnya.
Wow suka banget sama tulisan kk. Apalagi saya jg suka ttg Turki dan baru belajar Türkçe 😍😍
LikeLiked by 1 person
Terima kasih, Rahma.. Semoga sukses ya belajar bahasa Turki nya 🙂
LikeLiked by 1 person
Terima kasih, kak.
LikeLiked by 1 person
Sama2 😀
LikeLike
Nice post!
LikeLike
Thank you very much…
LikeLike