Jika bukan karena Fatih, aku mungkin sudah melewatkan kunjungan ke Mesjid Süleymaniye. Masih kurang akan pengetahuan akan sejarah kerajaan Ottoman, satu hal yang terpatri ketika mengunjungi Istanbul yang pertama kalinya di tahun 2011 adalah hanya untuk mengunjungi Hagia Sophia dan Mesjid Biru yang kebetulan terletak bersebrangan. Begitu tahu aku akan mengunjungi Istanbul, Fatih menghujaniku dengan berbagai informasi akan sejarah keemasan Ottoman. Dan tentunya, dengan memasukkan cerita tentang Sultan Süleyman, yang terkenal dengan penaklukan yang dilakukannya di dataran Timur Tengah (kecuali Iran), Afrika Utara dan bagian timur Eropa. Setelah membuat janji dengan Fatih, kami pun setuju untuk bertemu di Sultanahmet. Dari sana, Fatih akan membawaku ke Mesjid Süleymaniye.
Untuk mencapai Mesjid Süleymaniye, kami harus berjalan kaki selama 30 menit. Sebenarnya bukan perjalanan yang menyulitkan jika jalan yang dilewati hanya berupa jalanan datar. Namun, lain ceritanya untuk menuju Mesjid Süleymaniye yang terletak di puncak bukit. Jalanan yang terus menanjak membuat aku yang jarang olahraga ini ngos -ngosan setengah mati. Namun, tidak demikian dengan Fatih. Dia kelihatan tetap segar bugar, bahkan tak berkeringat sedikitpun. Sementara aku, pakaian sudah penuh peluh, dan kurasa aku bisa menghabiskan segentong air untuk bisa langsung diminum saking hausnya. Membeli air minum botol adalah yang pertama kali dilakukan Fatih ketika kami tiba di Mesjid Süleymaniye. Setelah menegak sebotol air mineral, yang langsung habis dengan beberapa teguk saja, kami memulai tur di Mesjid Süleymaniye.

Dilihat selintas, bentuk mesjid ini menyerupai Mesjid Biru. Namun, jika diperhatikan dengan lebih detail, terdapat beberapa perbedaan di antara kedua mesjid. Salah satunya jumlah minaret, yang hampir selalu ada di setiap mesjid di Turki. Mesjid Biru memiliki enam buah minaret, sementara Mesjid Süleymaniye memiliki empat buah minaret saja dengan kubah besar berdiameter 26,6 meter ini. Mesjid ini dibangun di tahun 1550 atas perintah Sultan Süleyman, oleh arsitek ternama kerjaaan Ottoman, Arsitek Sinan. Mesjid ini pernah terbakar, namun diperbaiki kembali di tahun 1660 oleh Sultan Mehmet IV.
Begitu memasuki gerbang, kami disambut oleh halaman yang luas dengan rerumputan hijau. Saat itu akhir musim panas. Dedaunan di pohon masih berwarna hijau, namun suhu sudah tidak terlalu panas dengan angin sepoy – sepoy yang berhembus dari selat Bosphorus. Keseluruhan halaman dikelilingi tembok tebal. Banyak pengunjung berkumpul di sekitar tembok. Sekedar untuk duduk-duduk sambil melepas lelah, maupun memandang lepas ke arah selat dan mengabadikan momen indah ini dengan kamera. Di salah satu sisi jalan, terdapat kompleks pemakaman. Sultan Süleyman dimakamkan disini, bersama permaisurinya, Hurrem Sultan, dan anak perempuannya, Mihrimah Sultan.



Di luar tembok mesjid terdapat banyak bangunan berkelompok. Menurut Fatih, dahulu kala bangunan – bangunan tersebut adalah bagian dari kompleks mesjid. Ketika kompleks ini dibangun, tempat ini bukan sekedar tempat beribadah. Namun, tempat ini juga memberikan pelayanan umum kepada masyarakat Istanbul, seperti madrasah, sekolah, rumah sakit, perpustakaan, pemandian, toko – toko, hingga dapur umum yang diperuntukkan untuk melayani orang – orang miskin.
Setelah puas melihat – lihat di luar, kami pun masuk ke dalam mesjid untuk melihat keindahan interior mesjid. Mesjid terbuka untuk umum, jadi pengunjung yang bukan beragama Islam juga diizinkan untuk melihat keindahan mesjid. Namun, pengunjung diharapkan untuk tidak berpakaian minim. Dan untuk wanita, diminta untuk mengenakan kerudung yang disediakan oleh pihak pengelola mesjid. Ketika memasuki mesjid, alas kaki juga harus dibuka. Namun, jangan khawatir. Tas plastik disediakan untuk menyimpan atau membawa sepatu ketika pengunjung memasuki mesjid. Sama seperti ketika memasuki Mesjid Biru, akupun langsung terkagum melihat keindahan Mesjid Süleymaniye. Langit – langitnya dihiasi dengan tulisan kalligrafi indah, dengan lampu-lampu yang menggantung dari langit – langor dengan bentuk melingkar. Di dalam mesjid, terdapat empat buah pilar, mihrab yang terbuat dari marmer, tempat khusus untuk muazzin, dan area sholat.










Tak lama setelah kami tiba, azan pun berkumandang, menandakan waktu Ashar telah tiba. Fatih segera undur diri, untuk mengambil wudhu karena ingin ikut Sholat Ashar berjamaah. Sementara aku yang tengah tidak bisa menjalankan ibadah sholat, menunggu Fatih di luar mesjid sambil menikmati semilir angin sore.
[…] ini tak terlalu besar. Namun, interiornya cukup indah. Menurutku, tak kalah dengan Mesjid Biru dan Mesjid Süleymaniye. Hanya kalah besar saja. Dibangun pada tahun 1853 hingga 1855, mesjid ini mewakili contoh terbaik […]
LikeLike
[…] mesjid ini kurang begitu dikenal, dibandingkan dengan ‘tetangga’ nya yang ternama, Mesjid Süleymaniye. Atau, mungkin juga karena waktu sholat Zuhur telah lama selesai, sehingga tak banyak orang yang […]
LikeLiked by 1 person
[…] Mesjid Süleymaniye, yang juga karya dari arsitek Sinan, Mesjid Selimiye bukanlah berfungsi sebagai tempat ibadah saja. […]
LikeLike