Biasanya, di Sabtu pagi aku sudah duduk manis di perpustakaan. Seperti yang pernah kutuliskan sebelumnya, aku selalu senang belajar di perpustakaan pada hari Sabtu atau Minggu, dikarenakan keheningan yang jarang ditemukan di hari kuliah. Namun, minggu itu aku cukup stress dan lelah. Hari Jumat, dimana biasanya aku berpesiar mengelilingi kota, dihabiskan dengan berdiskusi dengan kelompok debat. Kuliah yang membingungkan, serta diskusi yang menghisap begitu banyak enerji, membuatku lelah tak bersemangat di Sabtu pagi. Waktu masih menunjukkan pukul 7 pagi ketika aku terbangun. Matahari masih redup, cahayanya bahkan tak mampu menembus gorden putih yang menutupi satu-satunya jendela di apartemen mungilku. Aku menarik nafas panjang dan memutuskan untuk tidak pergi ke kampus di Sabtu pagi yang mendung.
Kutinggalkan tempat tidur, dan kuhidupkan musik melalui computer untuk menambah semangat di pagi yang kelabu ini. Masih ada sedikit sisa makanan dari makan malam kemarin di dalam lemari es. Bagus, aku tak perlu repot – repot memasak hari ini. Untuk sarapan, juga masih ada sepotong simit yang kubeli dari toko roti yang terletak di ujung jalan Çimen, malam tadi. Segelas kopi Turki dan sepotong besar simit cukup untuk sarapan pagi. Tak ada yang menghubungiku pagi itu. Agak aneh merasa kesepian ketika aku berada di kota megapolitan dengan penduduk berjumlah hampir 15 juta jiwa itu. Pagi begitu hening, seakan seluruh penduduk kota masih terlelap menikmati mimpi – mimpi mereka yang tertunda.
Siang mulai menjelang. Mentari yang tadinya redup, berangsur-angsur mulai memancarkan cahayanya. Seketika, bumi terasa lebih hidup. Suara – suara mulai terdengar. Apartemen sebelah mulai ribut dengan dentingan suara piring dan sendok. Kukira Hajar tengah menyiapkan sarapan. Burung – burung camar pun mulai berkicau, seakan – akan mereka tengah merayakan akhir pekan yang indah. Tak lama, salah satu tetangga yang aku tak tahu tinggal di apartemen mana, mulai membuka pianonya dan mendetingkan nada- nada indah. Kukira, dia seorang musisi. Pagi itu, Melody of Tears dari Beethoven berdenting, masuk melalui jendela kamar yang kubuka lebar. Kumatikan musik dari laptopku untuk menikmati karya indah Beethoven secara gratis.
Sembari mendengarkan musik, kubaca buku Last Train to Istanbul, yang menceritakan kisah pemulangan warga Turki dari Perancis ke Istanbul di perang dunia ke II. Namun, susah sekali untuk berkonsentrasi. Pikiranku mengembara entah kemana-mana. Setengah jam berlalu, namun hanya tiga halaman yang berhasil kubaca. Kuhentikan membaca, mencoba mendengarkan kembali alunan lembut piano sang Maestro. Ah, kali ini dia melantunkan Silence, masih dari Beethoven. Namun, alunan lembut piano sang Maestro tak cukup untuk menceriakan hatiku. Cukup sudah bermalasan di kamar. Kututup jendela, dan bersiap – siap untuk bersentuhan langsung dengan sinar mentari Istanbul.
Aku tak punya tujuan khusus. Hingga tiba di halte bus pun, aku masih belum membuat keputusan kemana aku akan pergi. Well, sebenarnya aku bisa saja menelepon Maria, mengajaknya ke suatu tempat untuk makan siang atau sekedar minum kopi bersama. Atau Umarah, yang kemarin sudah memberikan nomor teleponnya kepadaku. Namun, entahlah. Hari itu aku hanya ingin menikmati waktu sendiri.
Sebuah bus tujuan Eminönü berhenti di depanku. Tanpa pikir panjang, aku naik ke dalam bus, masih tanpa tujuan jelas. Bus cukup penuh, aku harus berdiri sepanjang perjalanan. Tak heran, hari itu adalah akhir pekan dimana sebagian besar warga akan menghabiskan waktu di luar rumah. Bus tiba di stasiun Eminönü. Di sini aku bisa memutuskan, apakah aku akan menyebrang selat ke bagian Asia, mengunjungi Prince’s islands di laut Marmara, atau hanya berjalan-jalan sambil mengamati kesibukan di pelabuhan. Dengan pertimbangan sudah terlalu sore untuk jalan-jalan ke pulau, dan aku tak bisa memikirkan apa yang akan kulakukan di Istanbul bagian Asia, kuputuskan untuk berjalan – jalan di sepanjang pelabuhan saja.


Selain berfungsi sebagai pelabuhan, Eminönu juga penuh dengan restoran dan pedagang makanan keliling. Tepat di sebelah pelabuhan, terdapat alun – alun yang cukup lebar, dengan beberapa bangku yang terbuat dari kayu dan beton. Pengunjung bisa duduk-duduk di sini, sambil mengamati kapal yang lalu lalang. Tak jauh dari sana, beberapa kapal besar dengan dekorasi menarik yang berfungsi sebagai restoran menawarkan menu andalan mereka, sandwich ikan dengan harga yang terjangkau.
Jembatan Galata adalah ikon yang paling menarik di sini. Jembatan ini menghubungkan jalan yang dipisahkan oleh sungai besar menuju tanduk emas. Meskipun jembatan ini cukup sibuk karena dilewati oleh berbagai kendaraan, namun jalur pejalan kakinya cukup lebar sehingga cukup nyaman untuk berjalan kaki. Dibawahnya, terdapat jajaran restoran, menawarkan menu makanan laut. Aku berjalan menyusuri jembatan. Di sepanjang jembatan, aku melewati para pemancing yang sudah siap dengan ember-ember berisikan umpan. Beberapa ember berisi ikan hasil dari pancingan. Aku bertanya-tanya dalam hati. Apa yang akan mereka lakukan dengan hasil pancingan itu. Akankah dijual,atau untuk dinikmati sendiri. Entahlah. Tak sempat pula itu kutanyakan pada mereka.








Selain pemancing, jembatan juga dipenuhi orang-orang yang sekedar ingin berjalan – jalan seperti aku. Beberapa mengambil foto selfie, dengan latar belakang mesjid Süleymaniye. Dari jembatan Galata, aku juga bisa melihat jembatan lain yang hanya khusus dilewati metro (kereta bawah tanah). Jembatan satu ini cukup cantik di malam hari, dengan lampu – lampu menghiasi kabel-kabel struktur jembatan. Sepanjang jalan di jembatan, aku bahkan sempat mengambilkan beberapa foto untuk satu keluarga yang ingin berfoto bersama. Salah satu anak dari keluarga tersebut bertanya apakah aku mau diambilkan foto oleh mereka. Kujawab kalau aku hanya ingin berjalan-jalan. Aku undur diri, setelah mengucapkan salam selamat tinggal.
“Gule – gule, Abla. Çok tesekkürler,” seru anak yang paling kecil. Aku melambaikan tangan dan berlalu.




Tak jauh dari pelabuhan, terdapat alun-alun tepi laut yang lain. Seperti banyak tempat di Istanbul, bangku – bangku kayu pun tersedia di sini. Dibandingkan dengan pelabuhan, tempat ini jauh lebih sepi. Hanya ada beberapa keluarga yang tengah duduk-duduk sambil menikmati sore, beberapa pemancing, dan beberapa pejalan kaki. Tanpa terasa, waktu telah berlalu. Langit mulai memerah, menunjukkan mentari mulai tenggelam di ufuk barat. Namun, kesibukan belum terhenti. Deru mesin kapal masih bergema, terompet kapal masih bersahutan, burung camar masih berkicau. Namun, ada satu hal yang pasti, dalam empat jam ke depan, Sabtu telah berlalu. Menandai berkurangnya waktuku di Istanbul.
Sangat mengasikan
LikeLiked by 1 person
Benar. Eminönü memang tempat yang mengasyikkan untuk menghabiskan sore..
LikeLiked by 1 person
[…] di minggu yang sama. Meskipun sudah menghabiskan sepanjang sore di Eminönü, aku masih belum menemukan ketenangan. Seharusnya, di Sabtu malam aku tak perlu merasa galau […]
LikeLike
[…] para Pangeran. Letaknya, tak jauh dari daratan utama Turki. Dengan naik boat Sehir Hatlari dari Eminonu, dalam 90 menit saja kita akan tiba di kepulauan para Pangeran. Kepulauan ini terdiri dari […]
LikeLike
[…] jalan fikiranku ata caraku menjalani hidup. Salah satunya, mengomentari kebiasaanku naik kapal dari Eminönü menuju Kadiköy, dan kembali lagi ke Eminönü. Seorang kenalan (aku hanya menyebutnya kenalan, […]
LikeLike
[…] Hingga di akhir jalan, kami masih tak menemukan cafe dengan listrik menyala. Kami sudah berada di Jembatan Galata. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore, kami memutuskan untuk makan malam di salah satu […]
LikeLike