Musim panas di tahun 2018 punya arti tersendiri buatku. Salah satunya, masa itu adalah masa dimana akhirnya aku dinyatakan lulus dari Program Strata 2 yang sedang kutempuh. Musim panas tersebut juga saksi pergolakan batin, karena aku sedang berusaha mengambil keputusan penting, antara untuk tetap tinggal di Turki, atau kembali ke Indonesia. Ditengah – tengah kegalauan, aku berusaha semaksimal mungkin untuk tetap bisa menikmati saat-saat terakhir di Turki. Karena itu, tak kutolak ajakan Hind, seorang teman baik asal Selandia Baru, untuk menghabiskan satu hari Minggu di Bursa.
Aku sudah pernah mengunjungi Bursa sebelumnya, begitu juga dengan Hind. Namun, kami selalu datang pada saat musim dingin, untuk mengejar salju. Dan kami sepakat, tak ada salahnya untuk mengadakan kunjungan kedua ke Bursa, pada saat musim panas. Ditambah fakta bahwa aku baru menemukan satu desa nelayan tradisional bernama Tirilye, yang letaknya tak jauh dari pusat kota Bursa. Begitulah, kami sepakat berangkat di Minggu pagi, menggunakan kapal cepat, dengan rute Istanbul – Mudanya, melalui pelabuhan di Eminonu. Dua jam waktu yang dibutuhkan untuk mencapai Mudanya dari Istanbul. Laut sangat tenang, aku menghabiskan dua jam tersebut untuk melanjutkan tidur yang sempat tertunda. Aku terbangun, tepat ketika kapal mulai merapat di pelabuhan Mudanya.
Tak ada transportasi umum untuk mencapai Tirilye, karena itu kami menggunakan jasa taksi menuju Tirilye. Ketika Bang Supir menanyakan tujuan kami secara detail, kami tak punya jawaban. Karena kami memang tak punya tujuan untuk menuju tempat khusus di Tirilye. Bang Supir hanya mengangguk-angguk, dan akhirnya mengatakan bahwa dia akan membawa kami ke kawasan di mana banyak orang pergi untuk sarapan.

Menempuh jarak 12 km dari Mudanya, kami tak banyak mengobrol di sepanjang perjalanan. Hind sibuk merekam jalanan yang kami lalui dengan telepon seluluernya, sementara aku lebih memilih untuk mengembara bersama fikiranku, sambil memandang birunya laut Marmara. Bang Supir akhirnya menurunkan kami di satu sudut jalan. Dia tak menjelaskan apa-apa, dan hanya mengatakan “Tirilye”. Aku dan Hind berpandangan, dan turun dari taksi sambil menyerahkan beberapa Lira kepada Bang Supir.
Seperti yang kukatakan sebelumnya, kami tak punya tujuan khusus di Tirilye. Jadi, kami langsung berhenti begitu melihat restoran di atas bukit yang menyajikan menu untuk sarapan. Beruntung, kami mendapat tempat duduk tepat di sebelah jendela dengan pemandangan laut. Sayang, aku tak sempat mencatat nama restoran ini. Namun, kami sangat puas dengan makanan yang disajikan. Sangat lezat, dan harganya pun jauh lebih murah dibandingkan dengan restoran tepi laut di Istanbul. Belum lagi pelayanan yang maksimal, yang membuat Hind jatuh cinta pada Bursa. Kami menghabiskan waktu kurang dari dua jam di restoran, dilanjutkan dengan berjalan-jalan menyusuri desa.

Berlokasi di Provinsi Bursa, tak terlalu banyak turis asing yang mengetahui keberadaan desa nelayan ini. Tirilye sendiri sudah dihuni sejak abad ke delapan sebelum Masehi. Dalam bahasa Yunani, Tirilye dikenal dengan sebutan Brylleion. Tirilye sudah menjadi pusat agama Kristen Ortodox Yunani untuk waktu yang cukup lama. Karena itu, di sepanjang desa banyak ditemukan peninggalan gereja dan biara yang dibangun pada masa kerajaan Byzantium. Salah atunya adalah Byzantine Haghioi Theodoroi Church yang saat ini sudah berubah fungsi menjadi Mesjid Fatih.



Street at Tirilye, Bursa


Street at Tirilye, Bursa, Turkey Street at Tirilye, Bursa Street at Tirilye, Bursa Tirilye, Bursa
Tirilye ditaklukkan oleh Kesultanan Ottoman, ketika menaklukkan Mudanya pada tahun 1321 Masehi. Setelah penaklukan, Tirilye tetap menjadi tempat permukiman, dimana bangsa Yunani hidup sebagai mayoritas. Saat ini hanya sekitar 2500 orang saja yang berdiam di desa ini, hasil dari pertukaran populasi antara Turki dan Yunani yang terjadi di tahun 1923. Rumah – rumah bergaya arsitektur Yunani yang dibangun sebelum pertukaran populasi, tetap dipertahankan di jalan-jalan utama. Saat ini, Tirilye berada di bawah perlindungan Kementrian Kebudayaan Turki, sehingga tak ada rumah-rumah yang dirobohkan atau dibangun dengan menggunakan gaya yang berbeda dari arsitektur aslinya.
Byzantine Haghioi Theodoro, or also known as Fatih Mossque Byzantine Haghioi Theodoro, or also known as Fatih Mossque
Bazaar at Tirilye, Bursa Bazaar at Tirilye, Bursa Some crafts I found in Tirilye Some crafts I found in Tirilye Some crafts I found in Tirilye
Satu jam berkeliling, kami pun menyudahi kunjungan kami di Tirilye. Sudah hampir tengah hari, dan kami masih harus ke pusat kota Bursa untuk mengunjungi beberapa tempat menarik lainnya. Kami sempat resah, karena tidak menemukan satu taksi pun yang lewat untuk membawa kami ke Bursa. Namun, nasib baik, seorang pemilik restoran membantu kami dengan menelepon taksi langganannya. Meskipun tak setenar tempat-tempat wisata lain di Bursa, namun dengan sejarahnya, rumah-rumah tua yang berwarna warni, dan beberapa peninggalan kerajaan Byzantium, tak rugi rasanya untuk mengunjungi Tirilye.
Beautiful photos Nurul, good to see your posts once more!
LikeLiked by 1 person
Thank you, Francisco. I am trying to get back to the old habit. Hope I will be more consistent in this period.
LikeLiked by 2 people
I’ll look forward to it. Cheers Nurul!
LikeLiked by 1 person
What a lovely small town. Glad you are traveling again
LikeLiked by 1 person
Thank you very much. It was from the old archives. I still need to wait for a while before having a chance to travel again.
LikeLiked by 1 person
I hope that happens soon. Turkey has had a good start on the vaccinations. I hope you are protected by now
LikeLiked by 1 person