Ujian Akhir Kuliah Methodology Dan Badai Salju (Akhirnya Datang Juga)


Dikarenakan Professor E.E tak terlalu bermurah hati untuk memberi petunjuk tentang soal ujian akhir semester, Nasir dan Batuhan memberi ide untuk belajar bersama sebelum soal ujian keluar melalui Blackboard. Bisa dibilang, kami semua cukup nervous, mengingat mata kuliah ini adalah mata kuliah wajib dengan kredit mata kuliah yang tak bisa dibilang sedikit. Nilai akhir akan begitu mempengaruhi Grade Point Average (GPA) atau dalam bahasa Indonesia lebih dikenal sebagai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). Aku yang memang selalu bingung dan butuh teman diskusi, menerima usul ini dengan semangat empat lima. Akhirnya terkumpullah beberapa orang untuk melakukan diskusi kelompok. Hille segera membuat whatsapp (WA) grup untuk kelompok belajar bersama ini. Laz juga termasuk dalam daftar. Dan ini membuatku sedikit heran. Setelah semua terdaftar, aku baru sadar ternyata banyak yang berminat untuk bergabung di kegiatan belajar bersama. Kamipun sepakat untuk belajar bersama di hari Sabtu pagi.

Begitupun, beberapa dari kami sudah mulai belajar dan saling mengirimkan beberapa pertanyaan yang kurang dimengerti melalui Whatsapp. Aku senang-senang saja, karena terkadang aku sendiri tak tahu apa yang harus ditanyakan. Pertanyaan dari teman-teman memberiku ide, dan kami saling memberi penjelasan untuk setiap pertanyaan yang ditanyakan. Aku sangat bersyukur mendapatkan teman-teman yang tidak pelit ilmu dan senang berbagi akan ilmu pengetahuan. Hal yang sebelumnya sempat kukhawatirkan sebelum memulai kuliah. Aku pun semakin tak sabar menunggu hari H belajar bersama.

Hingga tibalah hari Jumat. Aku mendapat text WA pertama kali dari Sera melalui WA group. Sera mengirimkan foto halaman rumah tempat dia tinggal yang sudah tertutupi salju. Pesannya singkat saja, “Guys. I am afraid that I can’t join you tomorrow. My car is already covered by snow, and there’s no public transport from my place.

Melihat foto yang dikirim Sera, aku setengah tak percaya melihat hamparan salju yang luas. Kubuka jendela kamarku lebar-lebar. Tak ada salju di sana. Yang ada hanya gerimis.

Hey Sera. Where do you live? No snow at all at my place. Please send them to me,” balasku sambil bercanda.

Don’t worry, Canim. It will come,” balas Sera.

Aku tak perlu menunggu lama. Dua jam berikutnya, kulihat butir-butir putih berjatuhan dari langit, membuat tumpukan kecil di atas jerjak jendela. Seketika pula aku mendapat text dari Intissar, “Nurul. There will be snow storm tonight. Do you have food stock at your house?”

Aku mengecek persediaan makanan. So far, aku masih punya persediaan cukup untuk makanan pokok  selama seminggu. Namun, persediaan makanan ringan sudah mulai habis. Sementara, untuk seminggu ke depan, bisa dipastikan aku butuh bercangkir-cangkir kopi dan makanan ringan untuk menemaniku bergadang. Segera kuambil mantel dan payung. Semoga toko roti Mehmet Bey, langganan di ujung jalan, masih buka.

Begitu keluar dari apartemenku, aku sudah disambut hawa dingin yang sangat menyengat. Padahal, aku masih di dalam gedung. Ketika kubuka pintu, jalanan sudah mulai tertutup oleh salju. Mobil-mobil sudah berubah warna menjadi putih. Setengah menggigil karena tak memakai sarung tangan, aku berjalan ke toko roti Mehmet Bey. Syukur tokonya masih buka.

Buyrun, arkadasim,” sambut Mehmet Bey ketika aku tiba.

Segera kubeli beberapa potong roti kering, sekotak kopi Turki, beberapa bungkus kacang dan penganan untuk mencukupi kebutuhan selama seminggu.

Keesokan hari, aku terbangun, dibangunkan oleh pesan singkat dari Kampus Bilgi. Isinya menginformasikan, dikarenakan badai salju maka Kampus Bilgi akan tutup hingga waktu yang tidak bisa ditentukan. Aku sedikit kaget dengan ini, karena kampus Bilgi selalu buka, dan hanya tutup di hari libur nasional saja. Study hall nya bahkan buka selama 24 jam. Penasaran, seheboh apa badai salju ini, aku pun keluar dari apartemenku. Pemandangan di luar sungguh luar biasa. Semua benda menjadi putih. Mobil-mobil terkubur oleh siraman salju yang lebat. Salju sudah setinggi setengah meter. Aku tak yakin jika ada transportasi yang beroperasi dengan keadaan seperti ini.

Aku pun mengirimkan pesan melalui WA kepada teman-temanku, “Guys. Campus is closed due to heavy snow fall. Is study plan still on?”

Nasir langsung menjawab, “Yes. We can find another place. Starbucks in Bebek is comfy enough to study” Bebek adalah nama satu kawasan di Istanbul.

Dari sekian banyak anggota belajar bersama, hanya beberapa orang saja yang merespon. Lainnya, merasa lebih baik tinggal di rumah ketimbang melawan alam. Sera sudah positif tak jadi ikut, karena dia sudah tak bisa menemukan dimana mobilnya di parkir. Teman-teman yang tinggal di sisi  Asia juga banyak yang tak mau mengambil resiko terdampar di tengah hujan salju karena transportasi yang tak beroperasi. Sementara Intissar tak bisa meninggalkan rumah, karena ibunya terserang arthritis karena udara dingin.

Sebenarnya, aku pun sedikit malas untuk belajar bersama. Aku yang memang tengah kemaruk melihat salju lebih tertarik untuk main-main salju di luar apartemen, ketimbang membaca dan membahas beratur-ratus lembar jurnal akademik. Namun, belajar bersama ini adalah kesempatan terakhir untuk mengerti materi pelajaran selama satu semester ini. Ini satu-satunya cara kalau aku memang benar-benar tak mau gagal, syukur kalau bisa mendapat nilai A. Maka, aku pun memaksa diri menuju Bebek di tengah badai salju.

Berjalan di tengah badai salju itu sungguh sulit, saudara-saudara. Terutama bagi kita, orang-orang tropis yang terbiasa dengan suhu hangat. Aku keluar mengenakan pakaian dua lapis, plus sebuah sewater, dan akhirnya ditutup dengan jaket musim dingin. Kepala yang sudah pakai kerudung pun masih kurang hangat, sehingga masih harus ditambah topi. Tangan yang tertutup sarung tangan,  membuatku kesulitan ketika harus menggunakan handphone. Belum lagi jalanan bersalju yang licin, dimana aku harus menjaga keseimbangan agar tak jatuh tergelincir di jalan yang berbukit. Ketika keluar, kulihat Bekir, tetangga kecilku sibuk bermain papan luncur di atas jalanan yang menurun. Sementara angin menderu-deru cukup kencang, yang bisa menerbangkan payungku kapan saja. Perjalanan ke halte bus yag biasanya kutempuh selama 3 menit saja, menjadi lima belas menit karena aku berjalan seperti kura-kura.

The snow hill, near my apartment.

Meskipun Istanbul diserang badai salju, namun transportasi tetap jalan. Aku salut dengan pemerintah kota Istanbul. Jalanan utama yang ditutupi salju, langsung dibersihkan dengan mobil khusus, sehingga bus dan mobil bisa melintas. Musim dingin kali ini adalah musim dingin terparah selama tujuh tahun terakhir. Meskipun setiap tahun Istanbul mendapatkan salju, namun tak pernah selebat dan setebal ini. Bus – bus pun beroperasi, meskipun mereka berjalan dengan lamban. Aku segera mendapatkan satu bus yang membawaku ke Bebek.

Istanbul covered by snow.
Besiktas Stadium, covered by snow.
Istanbul covered by snow.
Istanbul covered by snow.

Aku tiba lebih awal. Tak lama kemudian, Laz muncul. Dia mengatakan berulang-ulang kalau ujian ini kesempatan satu-satunya buat dia lulus di mata kuliah ini, karena nilai research proposal nya lagi-lagi mendapat nilai 25 juga. Salah siapa tak pernah datang ke kelas, kataku dalam hati. Tak lama, Nasir pun tiba diikuti Anil dan Hille. Setelah yakin tak ada lagi teman yang akan datang, kami pun memulai kegiatan belajar. Tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Hujan salju masih belum berhenti. Di kala mata perih aku berjalan-jalan di teras kafe yang semuanya penuh dengan salju. Kedai kopi Starbucks ini salah satu kedai kopi favoritku selama di Istanbul. Bukan karena merknya yang terkenal, namun karena lokasinya yang cantik, tepat di tepi selat Bosphorus. Disini kita juga diizinkan untuk duduk berlama-lama, tanpa harus ditanyai untuk menambah kopi ketika cangkir kopi sudah kosong. Dan satu lagi, harga kopinya juga tak semahal harga kopi Starbucks di Indonesia. Pokoknya masih terjangkau oleh kantong mahasiswa.

Istanbul covered by snow.
Istanbul covered by snow.

Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore, kami semua setuju kalau perut harus segera diisi dengan sesuatu yang lebih berat. Tak banyak pilihan yang kami dapatkan, karena kebanyakan restoran tutup. Kamipun tak berniat untuk mencari lebih jauh dikarenakan aku, sebagai satu-satunya orang yang baru berpengalaman menghadapi badai salju, mengalami kesulitan berjalan. Terutama, di jalanan Istanbul yang berbukit-bukit. Akan mudah sekali untuk tergelincir. Aku sampai harus dipegangi Anil dan Hille yang terkekeh-kekeh ketika berjalan di jalanan yang menurun. Pemandangan kali itu sebenarnya cukup lucu. Aku, dengan jaket tebal, syal tebal, dan payung merah jambu, berjalan tertatih-tatih dipegangi Hille dan Anil di kanan kiri, sementara Nasir memegang kerah jaket di belakangku. Hille tak bisa berhenti tertawa.

Oh Hille. Stop lauhing. You’re from Estonia” kataku juga sambil tertawa. Buat Hille badai salju ini tak seberapa. Di Estonia, mereka terbiasa dengan badai salju dengan setinggi pinggang.

Aktifitas belajar itu akhirnya selesai di pukul delapan malam. Kami semua cukup puas, dan berharap apa yang kami pelajari bisa menjawab pertanyaan yang akan diberikan oleh Professor E.E. Hanya ada satu orang yang masih cemas. Laz. Berulang-ulang dia berkata apakah dia boleh menghubungiku jika masih ada yang ingin ditanyakannya. Kujawab singkat, “We’ll see

Aku pulang setengah jam kemudian. Hujan salju masih ada, namun tak sederas sebelumnya. Bus-bus juga masih beroperasi, meskipun tak banyak jumlahnya. Di sepanjang jalan, aku melihat banyak mobil parkir dipinggir jalan dengan termos air besar. Ternyata mereka membagi-bagikan teh panas secara gratis. Ketika bus yang kutumpangi berhenti di salah satu mobil, mereka membagikan teh kepada pak Supir. Mereka juga membagi teh panas kepada penumpang. Aku menolak dengan rasa terima kasih karena seharian sudah banyak minum teh dan kopi. Aku cukup salut dengan sisi humanis masyarakat Istanbul. Di depan beberapa toko, aku melihat anjing-anjing jalanan tidur dengan ditutupi selimut. Orang Turki memang penyang binatang.

Begitupun, tak semua anjing yang seberuntung itu. Dalam perjalanan dari halte bus ke apartemen, tampak beberapa anjing jalanan yang berlari-lari kecil, mencari tempat hangat untuk bisa tidur. Sementara, kucing-kucing jalanan juga mengeong-ngeong di atas tembok-tembok rumah, memecah keheningan malam. Aku terbiasa pulang hingga tengah malam, karena lingkungan rumahku yang selalu ramai dan terang. Namun, malam itu terasa berbeda. Timbunan salju yang mulai menggunung dan binatang jalanan yang berlari-lari mencoba menemukan kehangatan, membuat malam terasa begitu sepi. Padahal baru pukul 10 malam saja. Kedai-kedai roti hanya membuka separuh pintunya. Kedai teh yang biasanya ramai hingga lewat tengah malam juga tutup. Orang lebih memilih bersembunyi di balik selimut ketimbang berjalan-jalan di malam yang dingin. Beberapa gorden rumah masih terbuka, menandakan penghuninya masih beraktifitas di dalam rumah.

Ketika tiba di rumah, aku mendapatkan notifikasi kalau Professor E.E sudah mengirimkan soal ujian. Hmm. Soalnya cukup sulit. Namun, kami sudah membahas hal ini dalam kegiatan belajar bersama. Sebenarnya soalnya tak sulit. Jika rajin masuk ke kelas dan ikut belajar bersama hari ini, pasti sudah bisa menjawab pertanyaannya. Karena semua jawabannya ada di dalam buku dan artikel yang pernah diberikan Professor E.E kepada kami. Yang sulit, membuat jawaban yang singkat, padat namun menyeluruh, yang bisa memberikan jawaban secara jelas. Di salah satu pertanyaan, aku pun sudah bisa menebak jawabannya ada di mana, yakni di salah satu buku Methodology, dari halaman 123 hingga halaman 987. Namun, bukan hal mudah untuk memasukkan ide secara menyeluruh dari 900 halaman ke 500 kata saja. Aku menarik nafas panjang. Meskipun tak gampang, kukira aku akan baik-baik saja, dan pasti bisa menyelesaikan soal ujian ini. Meskipun dengan kondisi tidak tidur.

Tiga hari kedepan, kuhabiskan untuk mengerjakan ujian methodology, dengan kesempatan tidur hanya 3-4 jam saja setiap harinya. Entah sudah berapa cangkir kopi yang kuhabiskan. Dan entah sudah berapa bungkus kacang yang habis. Meja kerjaku berserakan kulit kacang. Hujan salju masih turun dengan lebat, meskipun tak setiap saat. Ketika melihat ke jendela, aku suka iri melihat kucing-kucing yang bermain-main salju di atas tembok apartemenku. Dan burung-burung riang berkicau di atas dahan-dahan yang masih ditutupi salju. Atau, bisa saja. Binatang-binatang itu iri melihatku yang menghabiskan waktu dengan pemanas ruangan yang menyala terus-terusan. Mengingat pemanas yang beroperasi tanpa henti, membuatku sedikit terhenyak memikirkan tagihan gas yang harus kubayar bulan depan.

Kala bosan, memotret dari balik jendela adalah hiburan.
Kala bosan, memotret dari balik jendela adalah hiburan.

Laz membuatku hampir gila karena marah. Dia terus-terusan menelepon, mengirim text, merengek-rengek untuk mencontek jawaban ujianku.

Please my sister. You are my only hope to pass this exam” atau “Did you answer the question number 3?” dan pertanyaan-pertanyaan sejenis. Laz punya keahlian bermain kata-kata, yang membuatku bisa merasa seolah-olah adalah kesalahanku jika dia tak lulus ujian. Namun, syukurnya otakku masih cukup waras. Permintaannya kutolak mentah-mentah. Awalnya, aku masih cukup sopan, dengan mengatakan aku tidak bisa memberikan jawaban, karena aku pun masih mengerjakan ujian tersebut. Lama-lama, text yang datang setiap 30 menit membuat darahku sedikit mendidih karena membuat konsentrasiku pecah. Akhirnya kukatakan secara langsung, ketika kesabaranku mencapai titik batas. Aku berkata langsung dan tepat sasaran “Sorry Laz. I wont give you my answers

Namun Laz tak menyerah. Dia tetap menghubungiku. Aku kesal luar biasa. Untuk berbagi kekesalan, aku menelepon Nasir, “This guy is driving me insane” kataku. Ternyata, si Laz juga melakukan hal yang sama terhadap Nasir dan Intissar. Kuputuskan untuk mematikan telepon dan menghubungi beberapa orang agar menghubungiku melalui FaceBook saja. Aku tak berteman dengan Laz di FaceBook.

Setelah tak tidur tiga hari tiga malam, ujian itu pun berhasil kuselesaikan. Aku memasukkan lembaran ujian, hanya satu jam sebelum batas akhir pengumpulan. Ini waktu terlama bagiku untuk memasukkan ujian atau tugas. Biasanya, 12 jam sebelum batas pengumpulan, aku sudah menyelesaikan segalanya. Aku selalu khawatir kalau Blackboard system akan bermasalah jika aku mengumpulkan tugas di saat-saat terakhir. Namun kali ini, aku tak punya banyak waktu. Tak ada kendala ketika memasukkan dokumen ujian. Begitu mengklik tombol submit, aku segera menutup komputer dan tidur hingga 8 jam ke depan. Dua minggu kemudian, nilai akhir semester pun keluar. Kami, anggota group belajar bersama, mendapat nilai seperti yang kami harapkan. Kecuali Laz. Aku tak tahu berapa nilainya, dan tak berniat untuk bertanya.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s