Pencapaian sekecil apapun, wajib untuk disyukuri dan dirayakan. Termasuk pencapaian akan keberhasilanku untuk menuangkan isi pikiran ke dalam proposal research question di mata kuliah Methodology in Social Science. Tugas membuat research question ini cukup membuatku untuk mendapatkan mimpi buruk secara berulang-ulang, karena tak menemukan satu ide pun. Ide itu muncul secara tiba-tiba ketika aku tengah membaca berita tentang bantuan organisasi kemanusiaan untuk korban letusan Gunung Sinabung yang baru meletus untuk kesekian kalinya. Tiba-tiba terlintaslah ide untuk membuat tulisan dengan pertanyaan “Do Disaster Management Programs Give Significant Impact to Disaster Affected people?”
Presentasiku tidak ‘wah-wah’ sekali hasilnya. Ketika aku memberikan presentasi, kukira teman-teman sekelas hanya terpesona dengan foto letusan gunung Sinabung yang kucomot fotonya dari Associate Press. Mereka juga tercengang ketika kuberitahu fakta kalau Indonesia memiliki lebih dari 300 gunung berapi dan hampir semuanya masih dalam keadaan aktif. Untuk isi research sendiri, kurasa hanya Professor E.E yang memberi perhatian penuh, dan sedikit teman-teman yang memang punya kebiasaan untuk selalu serius dalam hal apapun. Usai presentasi, aku mendatangi Professor E.E untuk menanyakan kekurangan yang bisa ditambahkan di proposal research question ku yang akan dilanjutkan dengan research proposal. Menurut professor E.E, presentasiku sudah OK.
“You just need to make the question a little bit shorter. Long question could kill people’s mood to read it.”
Pertanyaan yang tadinya hampir mengambil dua baris penuh, kusingkat menjadi sebaris saja. Setelah melakukan sedikit revisi, aku pun memasukkan final proposal untuk research question melalui Blackboard. Seperti sebelumnya, kurang dari seminggu, Professor E.E sudah mengumumkan hasilnya. Aku sangat puas dengan nilaiku. Intissar juga puas dengan nilainya. Sementara Laz mendapat nilai 25 dari 100. Aku antara kasihan dan geram ketika mendengar curhatannya dengan tak bergairah.
Bagi sebagian orang, hal ini mungkin hal yang biasa. Ah, ini kan baru tugas, belum nilai akhir. Biasa aja kaleee. Namun tidak buatku. Yang memulai segala sesuatu dari nol. Segala hal yang berhubungan dengan pencapaian prestasi akademik wajib untuk dirayakan. Tak perlu mahal-mahal ataupun pergi jauh. Yang penting, bisa membuat hati ini senang. Ketika mendapat nilai bagus untuk reflection paper, aku mentraktir diri sendiri dengan makan sepotong kue cake enak di Hafiz Mustafa, salah satu toko kue terkenal di Istanbul. Puas dengan nilai ujian tengah semester di mata kuliah Politic of Energy, aku membeli buku tulis baru untuk mengganti buku tulisan harianku yang sudah penuh. Kali ini, setelah mengetahui hail nilai dari presentasi research question, aku merayakannya dengan berjalan-jalan ke Heybeliada.
Heybeliada adalah salah satu pulau dari gugusan kepuluaan Princes’ Islands. Pulau ini pulau kedua terbesar setelah Büyükada. Aku mengambil satu hari penuh di hari aku terbebas dari mata kuliah untuk berekreasi. Sebenarnya, musim dingin bukanlah waktu yang terbaik untuk jalan-jalan ke pulau. Biasanya Princes’ Islands paling ramai di musim panas karena banyak kegiatan yang bisa dilakukan di sana. Seperti berenang di pantai, bersepeda, duduk-duduk di luar kafe sambil menikmati pemandangan laut, dan sejenisnya. Namun, di musim dingin, kegiatan itu tak bisa dilakukan dikarenakan suhu yang rendah, angin kencang, maupun hujan yang sering turun. Namun, hari itu kemungkinan tidak akan turun hujan. Aku mengecek cuaca melalui aplikasi di telepon genggam. Begitupun, suhu akan sedikit drop. Namun, suhu dingin tidak melunturkan niatku.
Setelah sarapan, aku berangkat ke pelabuhan Eminönu untuk mengambil kapal ke Heybeliada. Maria sebenarnya mau ikut. Namun dia membatalkan di menit-menit terakhir karena terserang flu. Aku menumpang kapal Sehir Hatlari, kapal yang sama ketika aku pergi ke Buyukada. Pulau Heybeliada letaknya tepat sebelum Pulau Buyukada. Aku menuruni kapal dan keluar dari pelabuhan. Brrr… Sekarang baru terasa dinginnya. Di dalam kapal, aku tidak merasa kedinginan karena penghangat yang berjalan baik. Begitu keluar, angin laut dingin yang menusuk kulit menerpa wajahku. Aku harus menutupnya dengan syal.
Untuk menghangatkan diri, aku masuk ke dalam salah satu warung kopi. Setelah menyeruput dua gelas kopi Turki, aku mulai merasa hangat. Angin laut pun sudah tak terlalu kencang. Acara jalan-jalan bisa segera dimulai.
Untuk berkeliling aku menyewa sebuah sepeda. Pulau ini lebih kecil dibandingkan dengan Buyukada dan terasa lebih lokal. Sama seperti Buyukada, Heybeliada juga dipenuhi oleh rumah-rumah kayu tua bergaya Victoria yang biasanya ramai dihuni ketika musim panas. Jumlah rumahnya lebih sedikit. Cafe-cafe dan toko tetap tersedia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari penduduknya. Aturannya juga sama, dimana kendaran bermotor dilarang melintas di dalam kapal. Kereta kuda dan sepeda adalah alat transportasi utama. Menurutku, Heybeliada terasa lebih nyaman dan natural untuk berjalan-jalan. Di tengah pulau, terdapat hutan kecil dimana aku melihat beberapa kuda melintas riang tanpa pemilik yang mendampingi. Jalanan di Heybeliada juga berbukit-bukit. Di beberapa tempat, aku mesti berhenti karena tak sanggup untuk mengayuh sepeda di jalanan yang mendaki. Aku terus bersepeda hingga mencapai puncak bukit. Dari sini, aku bisa memandang laut Marmara dan kapal-kapal yang tengah bertepi di pelabuhan.









Di salah satu sudut hutan, duduk seorang perempuan di satu bangku kayu. Melihatku mengambil foto di beberapa sudut, dia menawarkan diri untuk mengambilkan fotoku. Kamipun berbicang-bincang selama beberapa saat. Perempuan ini bernama Aylin. Ternyata dia pendatang baru di Istanbul. Sebenarnya tak terlalu baru. Dia orang Turki yang lahir di Istanbul namun hidup lama di salah satu negara di Eropa. Aylin baru kembali ke Istanbul beberapa bulan yang lalu karena suaminya harus pindah tugas ke Istanbul. Lama tinggal di Eropa, membuatnya sedikit kesulitan ketika harus beradaptasi kembali di Istanbul. Aylin mengaku tengah mencari ketenangan di Heybeliada.
“We have the other house in the city. My husband lives there and joins me in the weekend. I’ll return in the next two weeks,” katanya. Setelah beberapa saat, aku pun undur diri.
“That was good to meet you, Nurul,” kata Aylin ketika kami berpisah. “You’re such a brave girl to decide to live in Istanbul alone. I wish you luck for your future endeavour,”
Menuruni bukit, aku tak perlu mengayuh sepeda. Cukup mengontrol rem sepeda agar sepeda tak meluncur terlalu kencang. Setelah mengembalikan sepeda ke tempat penyewaan, aku berjalan menuju pelabuhan. Kapal akan berangkat kembali ke kota lima belas menit lagi. Waktu masih menunjukkan pukul lima sore. Namun awan mulai redup, menandakan matahari akan segera terbenam. Aku berhasil mendapatkan foto sunset menawan di perjalanan pulang.

