Büyükada, Pulau Terbesar di Princes’ Islands


Oh. You’re so crazy about royal” salah seorang teman pernah berkomentar seperti itu.

Tak dipungkiri, sepertinya ungkapan itu ada benarnya juga. Aku memang tergila-gila sesuatu yang berhubungan dengan kerajaan. Ntahlah, aku pun tak tahu apa yang menyebabkan aku begitu terobsesi dengan para pangeran. Bisa jadi, dikarenakan buku-buku yang kubaca ketika aku masih kecil, yang selalu menceritakan kisah cinta akan pangeran dan putri. Seperti kisah Cinderella bertemu Pangeran Henry. Atau si Putih Salju yang dibangunkan oleh  Pangeran Florian. Yah, kisah-kisah seperti itulah. Ketika aku kuliah, aku juga melahap buku-buku karangan Barbara Cartland, yang kisahnya tak jauh-jauh dari anggota kerajaan. Roman picisan, begitu kata salah satu temanku. Menurut si teman, kisah-kisah tersebut begitu gampang ditebak. Ada gadis miskin, tiba-tiba ketemu seorang lelaki yang berasal dari negara antah berantah. Si lelaki ini mengaku sebagai seorang pengembara yang tersesat. Dan tiba-tiba terkuaklah misteri kalau si lelaki adalah salah seorang pangeran yang tengah menyamar. Atau seorang gadis miskin bertemu lelaki kaya raya. Usut punya usut, eh ternyata si gadis adalah seorang Lady. Jadi, kisahnya sudah bisa ditebak dari awal, begitu kata temanku. Namun, aku tak peduli. Meskipun aku melahap buku-buku novel ilmiah karya Michael Crichton, buku-buku si Barbara ini selalu enak dibaca ketika menjelang tidur. Ketika otak tak perlu lagi berpikir keras setelah seharian lelah dengan berbagai problema kehidupan. Menjelang tidur, saatnya terbuai ke alam mimpi. Yah, mimpi untuk bertemu sang pangeran impian.

Lebih dari satu dasawarsa sejak terakhir kalinya aku membaca buku-buku Mrs Cartland. Namun, obsesi ketemu pangeran masih ada di kepalaku. Terkadang, aku berhayal konyol, akan bertemu Pangeran Wiliam di suatu tempat. Atau, bertemu pangeran Harry yang suka akan kegiatan humanitarian kala aku tengah bertugas di suatu negeri di Afrika. Oh, jangan salah. Aku tak bermaksud kepingin dilamar untuk menjadi putri seperti Meghan Markle yang terkenal itu. Yang kuinginkan hanya bertemu para pangeran. Paling-paling bersalaman, dan teryakinkan kalau pangeran itu memang ada di dunia nyata. Bukan hanya di negeri dongeng. Ini sama ketika aku tengah menempuh kuliah Strata1. Aku ingin sekali bisa sampai ke Harvard. Bukan buat kuliah, karena sadar diri. Karena itu, mimpi bisa memegang gedung batunya pun jadilah. Hahahaha.

Nah, di Istanbul ada sebuah kepulauan yang dikenal dengan sebutan Princes’ Islands. Artinya kepulauan para Pangeran. Letaknya, tak jauh dari daratan utama Turki. Dengan naik boat Sehir Hatlari dari Eminonu, dalam 90 menit saja  kita akan tiba di kepulauan para Pangeran. Kepulauan ini terdiri dari sembilan pulau. Namun, hanya lima pulau saja yang dihuni oleh manusia. Lima pulau ini adalah Büyükada, Heybeliada, Burgazada, Kinaliada, dan Sedefada. Nama kepulauan sebagai Princes’ Islands sudah dikenal sejak zaman Byzantium, ketika para pangeran dari kerajaan Byzantium melarikan diri ke pulau tersebut. Di abad ke 19, kepulauan ini menjadi terkenal sebagai tempat peristirahatan untuk orang-orang kaya Istanbul, dimana komunitas Yahudi, Yunani dan Armenia mendominasi kepualauan. Sekarang, Princes’ Islands terkenal sebagai salah satu tujuan wisata di Istanbul, dengan gedung bersejarah dan rumah-rumah kayu tua bergaya Victoria. Satu hal lagi yang membuat pulau ini spesial adalah kendaraan bermotor dilarang melintas di dalam pulau, kecuali ambulans, mobil pemadam kebakaran, dan truk pengangkut sampah. Jika ingin mengitari pulau, orang harus menggunakan kereta kuda, sepeda atau berjalan kaki.

Aku yang terobsesi dengan pangeran, segera mengosongkan satu hari untuk menjadwalkan diri mengunjungi kepulauan ini.

Nurul. You will not find any prince over there. Even the last prince of Ottomans are not there. You know, the Ottomans fled the country after the fall of the empire” salah satu teman Turki ku meyakinkanku ketika kukatakan aku ingin mencari pangeran di Princes’ Islands. “However, the islands are worth a visit” 

Di suatu pagi, aku pun bersiap-siap menuju Princes’ Islands. Musim gugur telah berlalu, digantikan dengan musim dingin dan angin dingin yang menusuk kulit. Namun, niatku tak pudar. Maju terus. Menuju ke pulau, aku akan menggunakan kapal Sehir Hatlari dari pelabuhan Eminonu. Ketika di dalam bus, aku berdiri di sebelah dua orang cowok. Mereka sepertinya turis, karena mereka bicara dalam bahasa Inggris dan tidak beperawakan seperti cowok Turki. Mereka terus berbicara tentang berbagai spot turis di Istanbul. Satunya bertampang mirip orang China, dan satunya berperawakan campuran yang tak bisa kuartikan. Tiba-tiba, si cowok yang berperawakan China menegurku,

“Hi Mbak. Orang Indonesia ya? Mau ke mana?” Oh la la. Ternyata si cowok ini orang Indonesia asal Bandung dan bernama Arief, sementara temannya adalah orang Afrika Selatan. Mereka berdua tinggal di salah satu negara Timur Tengah dan bekerja di salah satu penerbangan di negara tersebut. Mereka sedang cuti di Istanbul dan hari itu adalah hari terakhir mereka di Istanbul. Mereka tengah bingung memutuskan akan menghabiskan hari terakhir mereka di mana. Ketika tahu aku akan mengunjungi Princes’ Islands, mereka jadi bersemangat.
“May we join you, Nurul?” tanya si Juned, yang berasal dari Afrika Selatan. Aku tak keberatan.

Kami pun tiba di Eminonu. Kebetulan, kapal yang berangkat ke Princes’ Islands akan segera berangkat dalam sepuluh menit. Sehingga kami tak perlu menunggu lebih lama. Meskipun udara dinginnya minta ampun, kami bukannya duduk di dalam kapal, melainkan di dek atas untuk mengambil foto. Meskipun dingin, namun cuaca sangat cerah dengan langit yang biru. Sayang rasanya jika mengabaikan kesempatan mengambil foto di luar dengan latar yang bagus.

Kami memutuskan untuk mengunjungi Büyükada, pulau terbesar dari seluruh kepulauan. Rute dari kapal Sehir Hatlari adalah Eminonu-Kadiköy-Kinaliada-Burgazada-Heybeliada dan Büyükada sebagai pulau terakhir yang dilalui. Begitu tiba, kami langsung berjalan-jalan mengitari jalanan yang sepi. Tak terlalu banyak pengunjung saat itu, dan kebanyakan rumah malah tutup. Menurut Sera, kebanyakan pemilik rumah hanya tinggal di pulau  ini pada musim panas saja. Sementara ketika musim dingin, mereka tinggal di rumah mereka yang lain di Istanbul. Begitupun, kelihatannya ada beberapa rumah yang benar-benar ditinggalkan oleh pemiliknya. Terlihat dari lantai-lantainya yang rapuh dan halaman yang penuh dengan rumput liar.

Setelah berjalan-jalan dan duduk-duduk selama dua jam, kami pun mulai merasa lapar. Berdasarkan review dari blog perjalanan, Büyükada terkenal akan restorannya yang mahal,  karena semua bahan harus dibawa dari Istanbul. Namun, apa yang bisa kami lakukan kecuali memilih salah satu restoran? Kami tak mau pingsan kelaparan. Lebih baik rugi beberapa lira saja.  Kami masuk ke salah satu restoran. Namun, tak seperti di review yang mengatakan makanan di Princes’ Islands super mahal. Ketika kulihat harga-harga yang tertera di sana, harganya standar dan cukup masuk akal seperti restoran-restoran lain di Istanbul. Bahkan, banyak restoran di Taksim yang berharga jauh lebih mahal. Kami pun memesan ikan bakar dan nasi untuk makan siang.

Pelabuhan di Büyükada
Pelabuhan di Büyükada
Büyükada, Pulau Terbesar di Gugusan Princes’ Islands
Büyükada, Pulau Terbesar di Gugusan Princes’ Islands
Jam di Büyükada, sebagai salah satu landmark di pulau.
Rumah di Büyükada, Princes’ Islands, Istanbul
Rumah di Büyükada, Princes’ Islands, Istanbul
Rumah di Büyükada, Princes’ Islands, Istanbul
Rumah di Büyükada, Princes’ Islands, Istanbul
Di sepanjang jalan ini penuh dengan restoran yang menawarkan makanan laut.
Ikan segar di salah satu restoran.

Usai makan siang, Arief dan Juned undur diri, karena mereka masih harus mengejar pesawat untuk penerbangan sore itu. Sementara aku memutuskan untuk tinggal selama beberapa jam lagi. Untuk mengitari lokasi yang lebih jauh, aku memutuskan untuk menyewa sepeda selama dua jam. Seorang anak perempuan Turki yang ramah sekali, menunjukkan kepadaku salah satu tempat penyewaan sepeda. Pemilik sepeda, memilihkan sepeda berwarna merah jambu untukku. Setelah membayar ongkos sewa dan meninggalkan kartu tanda pengenal sebagai jaminan, aku mulai berpesiar dengan sepeda merah jambuku. Aku bersepeda dengan riang gembira, melupakan sejenak beban kuliah di dalam kepala. Di beberapa spot, aku berhenti untuk mengambil beberapa foto. Di beberapa bagian pulau, aku harus mendorong sepeda karena jalanan yang menanjak. Ya, sebagai informasi jalanan di Büyükada berbukit-bukit. Jika tak sanggup mengayuh, sebaiknya mendorong sepeda saja dari pada ambil resiko sesak nafas dan jatuh terguling-guling. Suasananya sangat tenang. Tak ada keributan. Yang terdengar hanyalah lonceng sepeda dan tapak sepatu kuda.  Yang paling kusuka dari Büyükada adalah rumah-rumah tuanya itu. Sambil berjalan pelan, aku membayangkan sejarah dan cerita yang terjadi di dalam rumah tersebut. Di satu rumah, bisa saja berbagai cerita terjadi. Cerita sedih, cerita senang, maupun tragedi. Aku membayangkan anak-anak kecil yang berlarian di dalam rumah, atau sepasang kekasih yang tengah bertengkar dan berbaikan kembali, atau sepasang suami istri tua yang tengah menikmati teh hangat di beranda sambil memandang laut di kejauhan. Aku benar-benar seorang penghayal.

Büyükada. Hanya kereta kuda dan sepeda yang boleh melintas.
Rumah di Büyükada, Princes’ Islands, Istanbul
Rumah di Büyükada, Princes’ Islands, Istanbul
Rumah di Büyükada, Princes’ Islands, Istanbul
Rumah di Büyükada, Princes’ Islands, Istanbul
Rumah di Büyükada, Princes’ Islands, Istanbul
Salah satu gereja di Büyükada. Komunitas Yahudi, Yunani dan Armenia sebagai mayoritas dari populasi di Princes’ Islands.
Stasiun kereta kuda

Tanpa terasa, waktu dua jam hampir habis. Aku harus segera kembali ke tempat penyewaan sepeda. Tak jauh dari sana, terdapat sebuah toko es krim. Büyükada terkenal dengan es krim yang enak. Memang, saat itu musim dingin. Bukan saat yang tepat untuk menikmati es krim. Tapi, aku di Büyükada. Masa aku tak mau menikmati es krim di salah satu toko es krim ternama di sana. Kupesan satu porsi es krim ukuran besar untukku sendiri. Di tengah musim dingin, perlu waktu setengah jam untuk menghabiskannya. Menjelang maghrib, sebuah kapal tiba untuk membawa penumpang kembali ke Istanbul. Itu bukan kapal terakhir. Namun angin semakin kencang, dan aku tak mau terperangkap badai di pulau ini. Kutinggalkan Büyükada dengan penuh kepuasan.

So, did you meet any prince there, Nurul?” tanya Maria yang sudah geleng-geleng kepala sejak mendengar ambisiku mengejar pangeran hingga ke Princes’ Islands.

Nope. But I met two gentlemen who became my travel buddies. They were good companions

Catatan: Untuk informasi jadwal kapal ke Prince’s Islands, bisa dilihat di SINI.

3 comments

Leave a comment